BANTUAN DAN PENDAMPINGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK

 

Pemberian bantuan hukum sudah ditata dalam Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menekankan bantuan hukum dan pendampingan wajib ditanamkan sebagai suatu kewajiban yang dikasihkan dari negara buat anak pelaku tindak pidana sejak ditangkap atau ditahan dan selama dalam waktu pemeriksaan.[1] Pendampingan mengejawantahkan suatu metode pengasihan atas keringanan yang dikasihkan pendamping kepada klien dalam mengidentifikasi kebutuhan dan memecahkan masalah sehingga kemandirian klien secara keberlanjutan bisa dimanifestasikan.[2] Perlindungan anak memastikan segala aktivitas untuk menjamin hak-haknya secara optimal selaras dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Aturan perihal hak anak diatur secara tegas dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945 membunyikan hak-hak anak satu bagian diantaranya adalah berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh serta berkembang dan kuasa atas perlindungan dari kekerasan maupun diskriminasi.[3] Pasal 1 angka 12 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak melantaskan hak dipunyai anak adalah bagian dari hak asasi yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi orang tua, masyarakat, dan negara. Barda Nawawi Arief mengungkapkan perlindungan hukum buat anak bisa dimaksudkan sebagai usaha perlindungan hukum terhadap beragam keleluasaan dan hak asasi anak maupun pada beraneka ragam kepentingan berkenaan dengan kesejahteraan anak.[4] Perlindungan hak anak menjadi kewajiban bersama sebagai langkah preventif untuk menghindari anak menjadi korban tindak pidana ataupun menjadi pelaku dari tindak pidana atau anak berkonflik dengan hukum.[5]

Anak berhadapan dengan hukum ialah anak berkonflik pada hukum yang sudah berusia 12 tahun lamun berusia 18 tahun disangka mengerjakan tindak pidana bersandarkan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak berbunyi: “Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak menjadi korban tindak pidana, dan anak menjadi saksi tindak pidana”.[6] Anak menjelma korban tindak pidana yaitu anak belum berusia 18 tahun mengalami penderitaan tubuh, kejiwaan atau pikiran dan/ atau kerugian. Usaha pengambil langkah awal tindak pidana dilancarkan anak pada saat ini yakni melintasi penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak. Sistem peradilan pidana anak mengutarakan keseluruhan proses penyelesaian kasus anak yang bertatapan dengan hukum muncul tahap penyelidikan hingga tahap pembimbingan seusai selesai melewati pidana hal senada diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pihak penyelenggara pemeriksa dalam sistem peradilan pidana anak dilakukan oleh Polisi, Jaksa, Hakim, dan pejabat lainnya.

 

Proses Penyelesaian Di Luar Peradilan Pidana

Lembaga menangani anak berhadapan hukum berumur di bawah 12 tahun yakni Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS) di bawah Kementrian Sosial bertugas sebagai shelter atau tempat penitipan kala proses diversi sedang berlangsung. Diversi melukiskan perpindahan penyelesaian kasus anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana atau musyawarah sebanding amanat dari Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.[7] Diversi menjadi wewenang dari aparat penegak hukum untuk mengambil langkah dalam melanjutkan kasus atau menghentikan kasus. Sebagian dari cara alternatif yang bisa ditempuh dalam penanganan kasus tindak pidana anak adalah pende-katan keadilan restoratif yang dikerjakan dengan metode diversi sehingga bisa menekan anak dari stigma jelek sebab berpapasan dengan proses hukum. Keadilan restoratif ialah proses penyelesaian yang dilaksanakan di luar sistem peradilan pidana dengan mengikut sertakan korban, pelaku, keluarga korban, masyarakat maupun pihak-pihak yang berkepen-tingan atas suatu tindak pidana yang terjadi untuk menempuh kesepakatan & penyelesaian.[8]

Restorative Justice atau keadilan restoratif adalah suatu tahap-tahap penyelesaian yang mengikutkan pelaku, korban, keluarga korban/pelaku demi menekankan pengembalian kembali pada suasana semula serta bukan pembalasan.[9] Diversi diurus dalam Pasal 6 hingga Pasal 15 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak melafalkan :

Diversi bertujuan:

a.

mencapai perdamaian antara korban dan anak;

b.

menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;

c.

menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

d.

mendorong masyarakat untuk berpartipasi; dan

e.

menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Diversi dilangsungkan untuk mendeteksi suatu wujud penyelesaian yang win-win solution. Rancangan diversi lahir disandarkan pada kebenaran atas langkah peradilan pidana terhadap pelaku tindak pidana melintasi sistem peradilan pidana umum lebih banyak me-nyebabkan risiko daripada kebagusan. Proses peradilan akan menampilkan pemikiran buruk bagi anak sebagai pelaku tindak pidana maka lebih bagusnya dihiraukan dari mekanisme peradilan yang umum dan berpindah kepada mekanisme penyelesaian kasus pidana di luar sistem peradilan pidana. Mekanisme kasus tindak pidana dilaksanakan oleh anak wajib diusahakan diversi, baik dalam derajat penyidikan, penuntutan, maupun di pengadilan sebagaimana diurus dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012 yang berbunyi:

(1)

Pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.

Syarat diversi hanya bisa dikerjakan dalam hal tindak pidana dilaksanakan oleh anak sesuai termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yangf berbunyi:

(2)

Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

 

  1. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
  2. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Pasal 8 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengung-kapkan langkah diversi dilaksanakan melalui musyawarah dengan mengikutsertakan anak serta orang tuanya pelaku, korban dan orang tuanya, pekerja sosial profesional bersandarkan pendekatan keadilan restoratif. Langkah diversi bisa dilakukan dengan mengikutsertakan tenaga kesejahteraan sosial dan/ atau masyarakat. Langkah diversi harus memperhatikan; a. tindak pidana ringan, b. tindak pidana tanpa korban, c. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Pasal 10 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak membunyikan kesepakatan diversi untuk merampungkan tindak pidana berwujud pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari upah minimum provinsi bisa dikerjakan oleh penyidik bersama pelaku dan/ atau orang tuanya, serta mengikutsertakan tokoh masyarakat.

Proses Penyelesaian Melalui Peradilan Pidana

Mekanisme penyelesaian melewati proses peradilan pidana dilaksanakan pada anak sama halnya dengan proses penyelesaian pada orang dewasa yakni didahului proses penye-lidikan, penyidikan, penuntutan, dan diteruskan dengan pemeriksaan di sidang pengadilan. Tiap tahapan wajib memenuhi ketentuan dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal-pasal tersebut diuraikan bunyinya:

 

Pasal 17

(1)

Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib memberikan perlindungan khusus bagi Anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat;

(2)

Perlindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi tanpa pemberatan.

 

 

 

 

 

Pasal 18

Dalam menangani perkara anak, anak korban, dan/ atau anak saksi, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara.

 

 

 

Pasal 19

(1)

Identitas Anak, anak korban, dan/ atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak maupun elektronik.

(2)

Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah dan lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/ atau anak saksi.

Anak belum berusia 12 tahun telah menunaikan atau dicurigai melaksanakan tindak pidana oleh sebab itu penyidik, pembimbing kemayarakatan, pekerja sosial mengambil keputusan untuk mempasrahkan kembali kepada orang tua atau membawa masuk dalam program pendidikan, pembinaan dan pembimbingan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial hal tersebut senada dengan aturan Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012. Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak melafalkan setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat. Anak belum berusia 12 Tahun mengerjakan tindak pidana maka mekanisme penyelesaian acara pidananya hanya sampai pada tahap penyidikan. Anak berusia lebih 12 Tahun serta belum menyentuh usia 18 Tahun maka proses penyidikannya diurus dalam Pasal 26 hingga Pasal 40 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Penanganan tahapan penyidikan kasus anak nakal harus disembunyikan. Penyidik tidak menyembunyikan atau menyerahkan  penjelasan terhadap pers atau pihak manapun perihal berhubungan kasus anak yang masih dalam penyidikan maka apakah ada aturan terhadap sanksi jika terjadi pelanggaran?. Gatot supramono mengemukakan bahwa ada me-tode dengan melangsungkan pengajuan keberatan terhadap perilaku penyidikikan tersebut. Saat kasus anak disidangkan di pengadilan, terdakwa atau penasihat hukum mengambil kesempatan untuk menyampaikan keberatan sebagaimana di himbau dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP terhadap surat dakwaan penuntut umum.[10] Pihak terdakwa bisa menyampaikan keberatan bahwa surat dakwaan itu tidak mempunyai landasan hukum sebab dibuat bersan-darkan hasil penyidikan yang tidak sah dan tidak dirahasiakan. Penyidikan dilaksanakan tanpa memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang oleh sebab itu penyidikannya telah cacat hukum. Penyidikan demikian tidak mampu digunakan oleh hakim sebagai dasar untuk memeriksa dan mengadili terdakwa.

Penahanan anak tidak boleh ditunaikan dalam hal anak mendapat jaminan dari orang tua/ wali atau lembaga bahwa anak tidak akan melepaskan diri, tidak akan memusnahkan atau merusak barang bukti, dan/ atau tidak akan mengulangi tindak pidana berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012. Atas dasar aturan Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012 pejabat melaksanakan penangkapan atau penahanan harus menginfokabarkan kepada anak dan orang tua/ wali perihal hak menerima bantuan hukum.

Hal senada ditemukan dalam Pasal 54 KUHAP yang membunyikan guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Bantuan hukum bisa diberikan dengan menggunakan metode bimbingan dikasihkan kepada Anak Berhadapan Hukum dalam menemui kecemasan kala sidang. 

Ada 5 (lima) tahap-tahapan bantuan hukum yang bisa diberikan oleh pekerja sosial atau advokat. Tahap pertama penanganan komplikasi Anak Berhadapan Hukum umumnya di terima oleh Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja adalah pengasihan asesment. Asesment mengartikan bagian dari metode yang digunakan oleh pekerja sosial dengan maksud membantu untuk menjalankan penemuan masalah. Peran pendamping menyokong meningkatkan potensi kebisaan anak yang berkonflik dengan hukum supaya bisa hidup mandiri di masyarakat serta menghapuskan trauma peristiwa pidana yang dialami. Langkah kedua tahap adaptasi diberikan kepada mental/ kejiwaan anak berkonflik dengan hukum di lingkungan asrama untuk pelatihan interaksi. Hizba Ahshaina berpendapat interaksi sosial adalah hubungan antar individu satu dengan lainnya atau sebaliknya sehingga menciptakan hubungan timbal balik. Pendamping mendambakan berinteraksi dengan sebaya Anak Berhadapan Hukum dapat menumbuhkan perkembangan karakter.

Proses pendampingan ketiga dalam menjumpai kecemasan kala sidang di pengadilan yakni bimbingan pengarahan sidang. Bimbingan pengarahan sidang sama halnya bimbingan pengarahan yang dikasihkan oleh pekerja sosial dan penegak hukum untuk mengarahkan anak tentang proses sidang yang akan dilaksanakan. Proses bimbingan dimaksudkan memahamkan Anak Berhadapan Hukum untuk dapat mengetahui langkah-langkah sidang serta durasi waktu proses sidang yang akan di laksanakan. Proses bimbingan menolong anak membatasi pikiran-pikiran buruk tentang persidangan yang akan dilaksanakan. Proses bimbingan pengarahan sidang dimaksudkan membuat mengerti anak agar tidak cemas kala sidang berlangsung disebabkan ketidaktahuan.

Proses pendampingan keempat diberikan pada Anak Berhadapan Hukum dalam proses rehabilitasi adalah proses penanganan individu. Penanganan individu dimengertikan maksud sebagai bantuan pendamping terhadap anak dengan metode individual. Penanganan individual dapat dikerjakan dengan memberikan motivasi pengasihan semangat, pengasihan saran terbagus untuk anak serta menyisihkan rasa perhatian pada Anak Berhadapan Hukum. Bentuk perhatian berwujud sentuhan-sentuhan yang menampakkan pendamping peduli sama anak, semisal menyapa, sharing, dan menampakan simpati, empati pada Anak Berhadapan Hukum. Penanganan individu menyimpan maksud agar anak semangat dalam menjalankan pemulihan dan menghapuskan pikiran-pikiran buruk yang akan terjadi serta menekan kecemasan yang di alami. Proses bimbingan kelima bertujuan mengatasi kecemasan dan problematika dijumpai Anak Berhadapan Hukum adalah dengan metode konseling kelompok. Hermina & Hariyono mencetuskan konseling kelompok sebagai suatu prosedur komunikasi dua orang atau lebih yang berkembang terus-menurus secara berubah dengan kesadaran pikiran dan perilaku sebagai titik tengah. Atas perintah aturan Pasal 42 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ketika dalam hal diversi gagal penuntut umum harus menginformasikan berita acara diversi dan melimpahkan kasus ke pengadilan.

Contoh kasus pidana anak terjadi di Yogyakarta pada Tahun 2015. Contoh kasus tin-dak pidana pertama terjadi pada anak wanita berumur 14 tahun pelaku pengedar narkotika di domisili hukum Pengadilan Negeri Sleman Yogyakarta.[11] Anak wanita berumur 14 Tahun melaksanakan tindak pidana narkotika ditolong sebagian teman anak perempuan ini mengelilingkan narkotika secara tidak berizin. Tersaji kasus posisi seorang anak perempuan bernama DN berumur 14 Tahun telah melaksanakan perbuatan hukum menyalurkan narkoti-ka golongan 1. DN menyetujui pesan masuk singkat dari seorang teman bernama K selaku pihak kedua yang muatan pesan mengandung maksud atas harga ganja yang di pesan. DN memperlihatkan muatan pesan singkat kepada temannya bernama T. T menyetujui ajakan dan melakukan transaksi transfer sebagai sahnya pembayaran. DN bersama temannya pergi mengambil pesanan bertemu ditempat yang ditentukan lebih tepatnya berada di atas salah satu jembatan di Kotabaru Yogyakarta. Petugas kepolisian mengenakan baju preman mendatangi DN bertujuan melaksanakan penggledahan dan ditemukannya daun ganja yang dibungkus dengan kertas koran koran yang total berada didalam tas milik DN. DN ditangkap pihak kepolisian bersama temannya sedang K sedang daftar pencarian orang.

Logika hukum menanggapi anak perempuan bernama DN menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Nomor 11 Tahun 2012 termasuk dalam kategori anak berusia 12 Tahun kurang 18 Tahun melakukan tindak pidana. Pasal 32 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak DN berkuasa untuk disidangkan di pengadilan anak. Prosesi persidangan anak seusai dibuka terdakwa di seru masuk ke ruang sidang bersama orang tua/ walinya, penasihat hukum dan pembimbing kemasyarakatan. Langkah tindakan senada dengan bunyi Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) UU  Nomor 11 Tahun 2012 yang berlafal dalam sidang anak, hakim wajib memerintahkan orang tua/ wali atau pendamping, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan pembimbing kemasyarakatan untuk mendampingi anak. Orang tua/ wali atau pendamping tidak hadir sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/ atau pembimbing kemasyarakatan.

Peran penasihat hukum sudah dipastikan ada dalam aturan Pasal 54 KUHAP yang dasarnya menyatakan setiap anak nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berkuasa memperoleh bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasihat hukum selama durasi dan pada setiap derajat pemeriksaan. Pada persidangan ditemukan bukti pernyataan kesalahan terdakwa yang dikatakan oleh seorang saksi yang pokoknya Terdakwa tidak memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Saksi mengatakan terdakwa melakukan tindakan lebih dari satu kali atau berulang-ulang sehingga terdakwa tidak dapat menempuh proses diversi. Upaya dilaksanakan hanya melalui proses persidangan.

Contoh kasus pidana anak kedua terjadi pada tanggal 17 November 2015 bersinggah di kompleks perkantoran BLPP Banguntapan saksi bernama MYS bersama ke dua temannya bernama MAQ dan ADE tiba dengan maksud untuk berfoto-foto.[12] Dua orang lain tidak dikenal berboncengan menggunakan sepeda motor tiba menjumpai saksi dan dua teman saksi. Pembonceng turun lantas melakukan perbincangan kepada saksi “kamu anak mana” setelah itu dijawab siapa saksi “saya orang kotagede”. Pembonceng tanpa ada perasaan salah langsung mengambil handphone milik saksi yang saksi letakan usai mengambil foto pemandangan. Saksi berupaya merebut handphonenya kembali akan tetapi pembonceng menyemprotkan pilok ke wajahnya saksi.  Pembonceng disisi lain mengambil kamera Go Pro Merk Xiaomi milik saksi. Saksi bertanya kepada Agus yang merupakan seseorang yang berada di dekat lokasi. Saksi didampingi Agus melaporkan peristiwa ke polsek setempat.

Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan pada pokoknya mengungkapkan ter-dakwa Anak Berhadapan dengan Hukum sudah terbukti bersalah melaksanakan tindak pida-na pencurian dengan kekerasan dilancarkan oleh dua anak yang bersekutu senada dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (2) KUHP.  

(1)

Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau pe-serta lainnya, atau tetap menguasai barang yang dicuri;

(2)

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:

 

2.  jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.

Peran dan fungsi advokat melakukan pendampingan pada korban dalam pemeriksaan di pengadilan pada pokoknya adalah untuk memastikan hak-hak korban terpenuhi sesuai dengan dasar aturan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang berbunyi:[13]

(1)

Seorang saksi dan korban berhak:

 

  1. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan;

 

  1. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan duku-ngan keamanan;
  2. memberikan keterangan tanpa tekanan;

e.   bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f.    mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

g.   mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

h.   mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan

l.    mendapat nasihat hukum

 

 

 

 

Kesimpulan

Upaya pendampingan hukum yang dikasihkan oleh penasihat hukum terhadap korban atau pelaku tindak pidana anak diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pendampingan adalah segala usaha dalam pengisian hak serta pemberian bantuan hukum bertujuan memberikan rasa aman kepada korban dan saksi. Pendampingan pada korban bisa dikasihkan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atas dasar inisiatif dari apparat hukum, apparat keamanan, serta dari kemauan yang disampaikan oleh korban.

Pengadilan anak pengaplikasiannya tidak sama dengan peradilan pada umumnya. Me-kanisme penegakan hukum terhadap terdakwa dari penyidikan hingga persidangan sudah mematuhi syarat sebagaimana ditata dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kecil perbedaan terdapat dalam penahanan yaitu adanya pengikisan satu hari dari jangka waktu telah ditetapkan hal senada disebabkan untuk mengantisipasi kurangnya berkas yang diberikan ke pihak selanjutnya akan tetapi bila itu terjadi berakibat batal demi hukum.

Dalam komplikasi tindak pidana penganiayaan dengan pelaku anak, wujud penyele-saiannya dengan pendekatan keadilan restoratif melintasi diversi yang dimaksudkan suatu langkah dini dalam mekanisme penyelesaian sebelum meneruskan ke proses hukum selanjutnya. Bilamana penyelesaian kasus tindak pidana penganiayaan melewat diversi berjalan damai antara para pihak maka akan dicabut laporannya sebab sudah adanya pernyataan sepakat secara bersama-sama ketika saat perdamaian dilakukan. Mekanisme penyelesaian cara diversi tidak semuanya bisa berhasil ada kalanya akan kendala-kendala yang dihadapi oleh penegak hukum dan pihak yang berperkara.

REFERENSI

 

BUKU

Arief, Barda Nawawi. (1994). Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Semarang: CY Ananta.

Nursariani dan Faisal. (2018). Hukum Perlindungan Anak. Medan: Pustaka Prima.

Tafiati, Heli, dkk. (2021). Pendidikan Bagi Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH). Jakarta: Direktorat Sekolah Dasar.

Tiara, Ayu Eza. (2017). Potret Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Kepolisian. Jakarta: LBH Jakarta Press.

JURNAL

Akbar, Sadam Al. (2015) Proses Prosedural Pemeriksaan Anak Dibawah Umur Sebagai Terdakwa Dalam Tindak Pidana Narkotika. Jurnal Verstek, 3(2).

Nugraeni, Renita Dewi, dan Mukhtar Zuhdy. (2021) Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Kasus Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Anak. Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology (IJCLC), 2(1).

Reynovan, Jeremia. (2018) Efektifitas Penerapan Diversi Sebagai Implementasi Perlindungan Hukum Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar). Jurnal Kertha Wicara, 7(1).

Wakim, Paramitha Agustina Grace, Sherly Adam, dan Iqbal Taufik. (2021) Pemenuhan Hak Anak Korban Pornografi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Tatohi Jurnal Ilmu Hukum, 1(3).

Wijayanti, Indra, dkk. (2021) Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penganiayaan Dengan Pelaku Anak Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Pamali: Pattimura Magister Law Review, 1(2).

SKRIPSI/ TESIS

Perkasa, Baskami Agung. (2020). Bentuk Diversi dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak Guna Memberikan Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan dengan Hukum. Skripsi. Fakultas Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.

Pramono, Nanang. (2020). Bimbingan Pada Anak Berhadapan Hukum Dalam Menghadapi Kecemasan Saat Sidang. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Ushuludin dan Dakwah. Surakarta: Institut Agama Islam Negeri Surakarta.

Rida. (2020) Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Palopo). Tesis. Tidak Diterbitkan. Pascasarjana Ilmu Hukum Islam. Palopo: Institut Agama Islam Negeri Palopo.

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak

INTERNET

Kusumasari, Diana. (2011) Apa Peran dan Fungsi Advokat yang Mendampingi Korban Tindak Pidana?. https://www.hukumonline.com/klinik/a/apa-peran-dan-fungsi-advokat-yang-mendampingi-korban-tindak-pidana-lt4e1b13b7d2223.

 

 

 

 

[1] Wakim, Paramitha Agustina Grace, Sherly Adam, dan Iqbal Taufik. (2021) Pemenuhan Hak Anak Korban Pornografi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Tatohi Jurnal Ilmu Hukum, 1(3). h. 246.

[2] Pramono, Nanang. (2020). Bimbingan Pada Anak Berhadapan Hukum Dalam Menghadapi Kecemasan Saat Sidang. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Ushuludin dan Dakwah. Surakarta: Institut Agama Islam Negeri Surakarta. h. 68.

[3] Reynovan, Jeremia. (2018) Efektifitas Penerapan Diversi Sebagai Implementasi Perlindungan Hukum Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar). Jurnal Kertha Wicara, 7(1). h. 3.  

[4] Arief, Barda Nawawi. (1994). Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Semarang: CY Ananta. h. 68.

[5] Perkasa, Baskami Agung. (2020). Bentuk Diversi dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak Guna Memberikan Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan dengan Hukum. Skripsi. Fakultas Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. h. 1.

[6] Rida. (2020) Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Palopo). Tesis. Tidak Diterbitkan. Pascasarjana Ilmu Hukum Islam. Palopo: Institut Agama Islam Negeri Palopo. h. 3. 

[7] Tafiati, Heli, dkk. (2021). Pendidikan Bagi Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH). Jakarta: Direktorat Sekolah Dasar. h. 6-7.

[8] Tiara, Ayu Eza. (2017). Potret Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Kepolisian. Jakarta: LBH Jakarta Press. h. 9.

[9] Nursariani dan Faisal. (2018). Hukum Perlindungan Anak. Medan: Pustaka Prima. h. 166.

[10] Wijayanti, Indra, dkk. (2021) Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penganiayaan Dengan Pelaku Anak Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Pamali: Pattimura Magister Law Review, \1(2). h. 77.

[11] Akbar, Sadam Al. (2015) Proses Prosedural Pemeriksaan Anak Dibawah Umur Sebagai Terdakwa Dalam Tindak Pidana Narkotika. Jurnal Verstek, 3(2). h. 81.

[12] Nugraeni, Renita Dewi, dan Mukhtar Zuhdy. (2021) Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Kasus Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Anak. Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology (IJCLC), 2(1). h. 37.

[13] Kusumasari, Diana. (2011) Apa Peran dan Fungsi Advokat yang Mendampingi Korban Tindak Pidana?. https://www.hukumonline.com/klinik/a/apa-peran-dan-fungsi-advokat-yang-mendampingi-korban-tindak-pidana-lt4e1b13b7d2223, diakses pada tanggal 11 Agustus 2022 pada pukul 09:30 WIB.